Opini  

Sumenep Kota Sampah: TPS Mangkrak, Tanggung Jawab Terombang-Ambing

Foto ilustrasi

Oleh: Arumi

(Penikmat oksigen bersih yang kini mulai curiga dengan aromanya)

Selamat datang di Sumenep! Kota budaya, kota pariwisata, dan tentu saja kota yang bersahabat dengan… sampah. Di sini, setiap sudut kota bisa menjadi lokasi wisata baru: Wisata TPS Mangkrak, Museum Plastik Bekas, hingga Gallery Aroma TPA Batuan. Inilah keunikan Sumenep yang tak dimiliki kota lain. Kota yang tidak pernah membuang kesempatan untuk tidak membuang sampah dengan benar.

TPS: Tempat Penitipan Sampah?

TPS alias Tempat Penampungan Sementara sejatinya dibangun untuk menampung sampah sementara. Tapi di Sumenep, kata “sementara” punya makna filosofis lebih dalam. Kadang bisa berarti seminggu, sebulan, bahkan bertahun-tahun. Ada TPS 3R yang dibangun megah, lengkap dengan pagar dan plang nama, tapi isinya bukan sampah melainkan… udara kosong dan rumput liar. Sebagian lain telah bermetamorfosis jadi lapangan voli. Siapa bilang pengelolaan sampah tidak kreatif?

DLH: Dinas Lihat-Hanya?

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) tentu tidak tinggal diam. Mereka aktif setidaknya dalam membuat pernyataan rencana yang akan, sedang, atau mungkin akan dibahas untuk dilaksanakan, entah kapan. Mereka bilang akan membangun enam TPS baru. Luar biasa! Karena TPS yang lama saja belum selesai dikelola, kini DLH maju terus membangun lebih banyak tempat penumpukan. Barangkali konsepnya: makin banyak tempat, makin tersebar aromanya.

Tapi jangan salahkan mereka sepenuhnya. Urusan bangun-membangun itu ranah Dinas PUTR. Nah, DLH dan PUTR ini seperti pasangan suami istri yang sedang pisah ranjang sering tidak bicara, apalagi bekerja sama. Maka jangan heran kalau satu bangun TPS, satunya bingung siapa yang pakai. Mungkin ini bagian dari strategi recycle birokrasi: lempar tanggung jawab lalu daur ulang alasan.

Masyarakat? Ya, Jadi Penonton

Sementara itu, masyarakat… ya, apa kabar masyarakat? Mereka pun bingung. Ada yang masih membuang sampah di sungai karena katanya TPS terlalu jauh. Ada juga yang menunggu “petugas semangat” datang menjemput sampah, padahal petugasnya sudah hilang semangat sejak TPS tidak lagi berfungsi.

Tapi ini bukan sepenuhnya salah warga. Sosialisasi minim, edukasi setengah hati. Bahkan program pilah sampah dari rumah kalah populer dibandingkan gosip artis. Maka jangan heran jika tong sampah organik dan anorganik itu isinya sama saja: semuanya bercampur dalam semangat kebersamaan.

Apa Solusinya?

Mungkin sudah waktunya Sumenep membuat program “Sampah Wisatawan” saja biar orang datang, selfie di TPS, lalu pulang dengan kenangan bau yang membekas. Atau, lebih serius sedikit: evaluasi menyeluruh, sinergi lintas dinas, dan pembinaan sungguh-sungguh untuk pengelola TPS 3R. Kalau bisa, tambahkan humor dalam pelatihan biar mereka tak bosan, meskipun tetap tak digaji cukup.

Dan masyarakat? Ayo kita pelajari satu hal penting: sampah itu tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Tidak bisa tiba-tiba hilang seperti tanggung jawab oknum.


Penutup:

Sumenep, jangan sampai jadi kota di mana sampah lebih konsisten hadir daripada solusi. Karena kalau dibiarkan begini, mungkin nanti bukan kita yang tinggal di sampah tapi sampah yang akan tinggal di kita.

Penulis: Arumi FEditor: Tim editor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *