Keris memang memiliki akar kuat di Sumenep. Wilayah ini dikenal sebagai salah satu sentra utama pembuatan keris di Indonesia. Beberapa empu ternama berasal dari tanah Madura bagian timur ini. Tak dapat disangkal bahwa kontribusi Sumenep terhadap keberlanjutan tradisi keris cukup signifikan. Namun, menjadikan keris sebagai objek regulasi lokal yang eksklusif menimbulkan sejumlah pertanyaan kritis: untuk siapa peraturan ini dibuat? Dan apakah regulasi semacam ini benar-benar memperkuat warisan budaya, atau justru menyempitkannya?
Menurut draf raperda yang beredar di media, salah satu poin penting adalah pembentukan Dewan Keris Sumenep yang akan berwenang dalam hal pendataan, klasifikasi, hingga upaya pelestarian keris. Dewan ini dirancang sebagai lembaga semi-otoritatif yang akan “mengawal” eksistensi keris Sumenep. Namun, pendekatan ini mengandung risiko serius birokratisasi budaya.
Budaya, terutama yang intangible seperti keris, tidak semestinya dipagari secara administratif. Sebagaimana ditegaskan oleh antropolog Heddy Shri Ahimsa-Putra;
“Warisan budaya adalah milik bersama masyarakat yang hidup bersamanya, bukan hanya milik pemerintah atau lembaga tertentu.” (Kompas, 2019).
Ketika negara atau daerah terlalu mengatur secara formal budaya yang hidup, yang terjadi adalah pelembagaan warisan dan berpotensi mengasingkannya dari rakyat itu sendiri.
Keris bukan sekadar benda pusaka. Ia adalah simbol spiritual, karya estetika, sekaligus produk teknologi tradisional. Bahkan UNESCO pun menetapkannya sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity pada tahun 2005- bukan sebagai milik satu kabupaten atau provinsi, tetapi sebagai bagian dari identitas budaya bangsa Indonesia.
Sementara itu, sejumlah budayawan nasional dan empu menyatakan keberatan atas raperda ini. Empu Supardi, perajin keris asal Solo, dalam wawancara dengan Tempo menyebut bahwa;
“kalau keris diatur oleh pemerintah lokal seperti itu, yang ada nanti makin banyak keris-keris yang dianggap tidak sah, padahal yang membuatnya justru para empu yang tidak terdaftar secara administratif.” (Tempo.co, April 2025).
Pernyataan ini menunjukkan kekhawatiran bahwa otoritas budaya bisa berpindah dari komunitas ke birokrasi.
Perlu diingat bahwa pelestarian budaya tidak harus selalu berbentuk regulasi. Banyak pendekatan partisipatif yang lebih sehat dan inklusif: membuka ruang edukasi tentang keris di sekolah-sekolah, memfasilitasi regenerasi empu lewat sanggar atau pelatihan, serta mendorong dialog antardaerah tentang kekayaan pusaka keris. Masyarakat juga perlu dilibatkan secara aktif, bukan hanya sebagai objek yang harus “disosialisasi”, tetapi sebagai subjek pewaris budaya itu sendiri.
Jika raperda ini tetap disahkan dalam bentuknya yang sekarang, maka Sumenep bukan sedang memuliakan keris, melainkan menyekatnya dalam batas-batas administratif yang kaku. Ini seperti mengurung burung dalam sangkar emas: tampak indah, tapi kehilangan kebebasannya untuk terbang dan bernyanyi.
Bila benar ingin melestarikan keris, Pemkab Sumenep harus melihat lebih jauh dari sekadar regulasi. Mereka harus hadir sebagai fasilitator budaya, bukan sebagai pengendali tunggalnya. Keris bukan hanya milik Sumenep. Ia adalah jiwa yang ditempa dalam sejarah panjang kebudayaan Nusantara.