Opini  

Tugu atau Sekadar Patung Besi? Kritik atas Pembangunan Tugu Keris di Kota Sumenep

Di tengah kota Sumenep yang kaya akan sejarah, budaya, dan pusaka luhur, berdiri sebuah bangunan yang disebut sebagai Tugu Keris. Namun, pertanyaan yang layak diajukan adalah: benarkah itu sebuah Tugu Keris, atau hanya patung besi raksasa yang sekadar menyerupai bentuk keris?

Pembangunan Tugu Keris di Sumenep semestinya menjadi manifestasi dari penghormatan mendalam terhadap warisan leluhur, khususnya keris sebagai simbol spiritual, budaya, dan identitas Madura. Namun kenyataannya, proses pembangunan tugu ini justru mencederai makna sakral dari keris itu sendiri. Ia tidak dibangun melalui prosesi adat atau ritual kesakralan yang selayaknya dilakukan dalam pembuatan sebuah pusaka. Tidak ada prosesi pendempuan, tidak ada campur tangan para empu—penjaga pengetahuan dan spiritualitas keris—dalam proses penciptaannya. Yang tampak adalah proyek instan yang dikerjakan dengan pendekatan materialistik dan teknokratis, demi mengejar target proyek, bukan penghormatan pada nilai-nilai budaya.

Keris bukan sekadar benda. Ia adalah pusaka yang menyimpan nilai filosofis, spiritual, dan historis yang sangat tinggi. Dalam budaya Sumenep dan banyak wilayah di Nusantara, keris dibuat dengan laku tirakat, puasa, doa-doa panjang, dan proses pembatinan yang tidak bisa diukur hanya dengan anggaran proyek. Proses pembuatan keris sejati adalah upaya manusia menyatu dengan semesta melalui logam, api, dan niat luhur.

Tugu Keris yang dibangun tanpa ruh dan laku itu sejatinya kehilangan legitimasi budaya. Ia lebih menyerupai patung besi yang dibentuk melalui proses las biasa—sebuah simbol kosong yang tidak punya nyawa, tidak punya tuah, dan tidak punya makna mendalam sebagaimana keris semestinya. Ini bukan hanya pengingkaran terhadap tradisi, melainkan juga bentuk banalitas terhadap nilai-nilai luhur yang selama ini dijaga oleh para empu dan masyarakat adat Sumenep.

Lebih ironis lagi, proyek ini menunjukkan kecenderungan umum dalam pembangunan kebudayaan di negeri ini: pendekatan seremonial dan simbolik yang miskin substansi. Kebudayaan dijadikan ornamen demi kepentingan citra, bukan sebagai ruh yang hidup dalam masyarakat. Maka tidak mengherankan jika Tugu Keris ini lebih banyak menimbulkan pertanyaan daripada kebanggaan.

Sumenep sebagai Kota Keris seharusnya menjadi penjaga martabat warisan leluhur, bukan justru menciptakan simbol-simbol palsu yang mereduksi makna budaya hanya menjadi estetika kosong. Jika tugu ini benar-benar ingin dimaknai sebagai lambang kota, seharusnya ia lahir dari musyawarah budaya, melibatkan para empu, budayawan, tokoh adat, dan masyarakat, serta dibangun dengan prosesi yang menyatukan spiritualitas dan keterampilan, bukan sekadar mencantumkan nilai proyek di atas kertas.

Tugu Keris yang dibangun tanpa kesakralan, sejatinya bukan tugu keris. Ia hanyalah patung besi—sepotong besi besar yang hampa makna. Dan dalam kota yang mengaku sebagai Kota Keris, kehadiran patung itu adalah ironi yang seharusnya menjadi bahan refleksi, bukan kebanggaan.

*****


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *